- Hidrogen diidentifikasi dapat berperan kunci dalam dekarbonisasi sektor energi, seperti: hidrogen fuel cell atau bahan bakar sintesis untuk kendaraan.
Akselerasi Transisi Energi Melalui Pemanfaatan Hidrogen, Energi Rendah Karbon Bahan Bakar Masa Depan
Akselerasi Transisi Energi Melalui Pemanfaatan Hidrogen, Energi Rendah Karbon Bahan Bakar Masa Depan
25/12/2023 21:01:03

TRIBUNNEWS.COM - Pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi isu penting terkait fenomena perubahan iklim yang kian nyata dirasakan umat manusia di bumi.
Emisi gas rumah kaca disebabkan oleh berbagai faktor, terutama aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi atau perusakan hutan, dan industri pertanian intensif.
Peningkatan GRK di atmosfer akan menyebabkan suhu permukaan bumi menjadi lebih panas atau lebih dikenal pemanasan global.
Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah.
Suhu rata-rata pada tahun ini naik sekitar 1,4 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri, hanya sepersepuluh derajat di bawah ambang batas 1,5 derajat celcius yang ditetapkan saat Perjanjian Paris 2015.
Laporan WMO tersebut dikeluarkan saat para pemimpin dunia memulai konferensi iklim PBB COP28 di Dubai, Uni Emirates Arab pada 30 November 2023 lalu.
PBB memperingatkan, permulaan El Nino pada awal tahun ini, fenomena cuaca yang ditandai dengan pemanasan di Samudera Pasifik, dapat menyebabkan suhu rata-rata tahun depan melebihi batas target 1,5 derajat celcius.
Suhu bumi yang bertambah panas akan memengaruhi kondisi suhu rata-rata atmosfer, laut, daratan, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang berdampak pada aspek kehidupan yang lebih luas.
“Ini lebih dari sekedar statistik. Kita berisiko kalah dalam perlombaan untuk menyelamatkan gletser dan mengendalikan kenaikan permukaan laut," kata Sekretaris Jenderal WMO, Prof Petteri Taalas.
"Kita tidak bisa kembali ke iklim abad ke-20, namun kita harus bertindak sekarang untuk membatasi risiko iklim yang semakin tidak ramah pada abad ini dan abad-abad mendatang. Cuaca ekstrem menghancurkan kehidupan dan mata pencaharian setiap hari," terang Taalas dikutip dari laman WMO.

Memulai Transisi Energi
Pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang digunakan untuk menghasilkan energi bagi sektor transportasi dan industri telah menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang signifikan, seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan partikel lainnya.
Laporan Global Carbon Budget pada 5 Desember lalu menyebutkan, emisi CO2 dari bahan bakar fosil seluruh dunia mencapai 36,8 miliar metrik ton pada akhir tahun 2023, meningkat 1,1 persen dari tahun 2022.
Komunitas global telah mengambil langkah penting untuk menyikapi perubahan iklim yang dipicu gas rumah kaca.
Forum KTT Perubahan Iklim COP28 menyetujui kesepakatan yang menyerukan transisi dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
Perwakilan dari hampir 200 negara yang mengikuti KTT Perubahan Iklim COP28 sepakat mulai beralih dan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil secara global untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim.
Sementara itu, Indonesia sejak tahun lalu dalam gelaran G20, telah mengajak negara-negara yang tergabung dalam G20 untuk mencapai kesepakatan global dengan mempercepat transisi energi.
Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris 2015 ke dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convenstion on Climeta Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
Indonesia berkomitmen pada Perjanjian Paris dan telah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca atau dekarbonisasi nasional.
Dalam dokumen Enhanced NDC ditargetkan pencapaiannya pada tahun 2030 sebesar 31,89 persen apabila dikerjakan dengan sumber daya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Selain itu, Indonesia juga memiliki target jangka panjang yaitu mencapai emisi netral (Net Zero Emission / NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
NZE adalah istilah yang merujuk pada kondisi suatu negara menghasilkan nol emisi karbon, yakni ketika jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer sama dengan jumlah karbon yang diserap dari atmosfer.
Akselerasi melalui Green Hydrogen demi Capai NZE 2060
Sektor energi adalah penyumbang utama emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Sektor energi mencakup beberapa sub-sektor pemanfaatan, seperti transportasi, industri, dan rumah tangga.
Sementara di Indonesia, industri pembangkitan tenaga listrik merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca yang paling banyak.
Menurut data Kementerian ESDM, pembangkit listrik menyumbang emisi sebesar 243 juta ton CO2eq, atau 43 persen dari total 563,4 juta ton CO2eq, diikuti transportasi sebesar 161,6 juta ton CO2eq.
Oleh karena itu sektor energi dituntut untuk bertransisi ke arah energi yang lebih bersih, rendah emisi, dan ramah lingkungan. Pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan menjadi vital dalam proses transisi tersebut.

Salah satu strategi penting dalam mencapai target NZE adalah dengan melakukan transisi energi melalui pemanfaatan energi nol karbon.
Dalam hal ini, hidrogen diidentifikasi dapat berperan kunci dalam dekarbonisasi sektor energi, seperti: hidrogen fuel cell atau bahan bakar sintesis untuk kendaraan, hidrogen untuk media penyimpanan energi.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan Dokumen Strategi Hidrogen Nasional pada 15 Desember 2023 lalu yang berisikan tentang analisis situasi global dan nasional, serta strategi jangka panjang pemerintah dalam memanfaatkan dan mengembangkan hidrogen di tanah air.
Dijelaskan dalam dokumen tersebut, hidrogen merupakan satu-satunya pembawa energi (selain listrik) dengan kandungan nol karbon, yang sedang dipertimbangkan dengan serius untuk updaya dekarbonisasi.
"Hidrogen merupakan sebuah unsur energi baru yang rendah karbon yang berlimpah di Indonesia. Saat ini konsumsi hidrogen di Indonesia mencapai lebih dari 1,75 juta ton per tahun," ungkap Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yudo Dwinanda Priaadi.
"Penggunaan hidrogen di Indonesia masih terbatas pada bahan baku pupuk, amonia, dan kilang minyak. Hidrogen dapat berkontribusi luas dalam kebijakan transisi energi Indonesia, antara lain: mendukung ketahanan energi, diversifikasi energi, dan mendukung pengembangan energi baru terbarukan yang berkelanjutan," terangnya.
Sebelum dokumen itu diluncurkan, perusahaan listrik negara, PT PLN (Persero) telah lebih dulu memulai produksi hidrogen.
Berkolaborasi dengan Kementerian ESDM dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), hidrogen yang diproduksi PLN ini bahkan telah yang berjenis hijau atau green hydrogen.
Pada 20 November lalu, PLN telah meresmikan beroperasinya 21 pembangkit hidrogen hijau (Green Hydrogen Plant atau GHP) yang bisa memproduksi memproduksi green hydrogen.
Mulanya hanya satu Green Hydrogeen Plant yang diresmikan, yakni pada 9 Oktober 2023 di di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta.
Sebulan kemudian, PLN melakukan akselerasi dengan meresmikan sebanyak 21 Green Hydrogen Plant yang tersebar di berbagai pembangkit milik PLN di wilayah di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, jumlah produksi green hydrogen yang bisa dihasilkan dari 21 GHP itu mencapai 199 ton.
Hidrogen sendiri bukanlah pembawa energi primer sehingga perlu diproduksi. Produksinya bisa dilakukan melalui berbagai macam cara dan teknologi serta sumber utama seperti batu bara, gas alam, angin, matahari, dan sumber energi lainnya.
Inilah yang kemudian menjadikan hidrogen dapat diklasifikasikan berdasarkan proses produk, bahan baku, sumber energi dan emisi yang dihasilkan.
Klasifikasi umum yang sering digunakan saat ini adalah berdasarkan sumber energi yang dikategorikan berdasarkan warna, yakni coklat, biru, abu-abu, hijau.
Warna coklat apabila diproduksi dengan menggunakan sumber energi batu bara sebagai bahan baku melalui proses gasifikasi.
Warna abu-abu apabila sumber energinya melalui pembakaran gas alam tanpa Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan warna biru apabila dengan CCUS.
Lalu Hidrogen Hijau apabila produksinya menggunakan sumber energi terbarukan seperti angin, matahari atau air dengan cara elektrolisis.
Dari sekian itu, hidrogen hijau atau green hydrogen adalah yang paling baik karena tidak meninggalkan residu di udara atau menambah emisi karbon gas rumah kaca baik dalam penggunaannya atau proses produksinya.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan, peresmian GHP ini merupakan buah komitmen PLN dalam mendukung upaya pemerintah dalam melakukan transisi energi.
Menurutnya, era masa depan transportasi tak hanya bergerak ke arah listrik namun juga ke arah hidrogen. Green hydrogen akan menjadi energi alternatif.
“Ini merupakan wujud nyata dari kolaborasi bersama Kementerian ESDM dan BRIN. Karya Inovasi ini kami lakukan dalam menjawab transisi energi," kata Darmawan Prasojo saat meresmikan 21 GHP pada November lalu.
Dikatakannya, pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN sebenarnya sudah memiliki hydrogen plant dengan electrolyzer.
Alat tersebut digunakan untuk memproduksi hidrogen yang digunakan untuk mendinginkan generator pembangkit listrik.
Kini, melalui inovasi pemanfaatan solar PV hingga Renewable Energy Certificate (REC), hidrogen yang dihasilkan mampu dikembangkan menjadi green hydrogen dan turut berperan dalam penurunan emisi karbon hingga lebih dari 8 ribu ton CO2/tahun.
"Memaksimalkan existing facility yang ada di pembangkit-pembangkit thermal kami, kemudian kami lakukan inovasi dengan memanfaatkan 100 persen EBT menjadi green hydrogen,” tegas Darmawan.
Seluruh hidrogen yang dihasilkan bersumber dari pengembangan EBT yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan total kapasitas 4.644 kWp atau setara dengan 6.780 MWh/tahun, dan juga menerapkan REC sebesar 9.535 MWh/tahun.
Dari 21 unit hydrogen plant tersebut dapat menghasilkan 199 ton per tahun, namun hanya 75 ton per tahun yang digunakan untuk kebutuhan pendinginan generator pembangkit listrik.
Dengan demikian, sisanya sebesar 124 ton bisa digunakan untuk kebutuhan berbagai industri, cofiring pembangkit hingga hydrogen refuelling station kendaraan listrik.
Sebagai gambaran, dengan kapasitas produksi tersebut bisa menyuplai sebanyak 424 mobil menempuh jarak 100 km setiap hari dalam setahun.
Membangun Ekosistem Hidrogen
Sementara itu, Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan green hydrogen merupakan bahan bakar masa depan.
Dirinya juga menjelaskan hidrogen hijau merupakan game changer terhadap tantangan transisi energi. Ke depan, penggunaan hidrogen hijau sebagai bahan bakar alternatif akan dibutuhkan banyak industri.
“PLN miliki cara paling cepat untuk menghasilkan green hydrogen. Kami awalnya berpikir untuk bisa menghasilkan hidrogen hijau ini akan butuh waktu yang lama, memakai panas bumi, solar panel. Ternyata inovasi yang dilakukan oleh PLN mampu mempercepat produksi green hydrogen di Indonesia,” ucap Yudo saat turut meresmikan GHP pertama Oktober lalu.
Dikatakannya, langkah akseleratif PLN dalam membuat GHP menjadi bukti dan penguat dari peta jalan strategi hidrogen nasional.
“Alhamdulillah PLN sudah mendahului strategi ini. Sebelum bukunya keluar, sudah ada buktinya dulu,” ujar Yudo.
Indonesia sendiri, sambung Yudo, memiliki peluang besar dalam pengembangan hidrogen hijau. Sudah ada minat dari negara tetangga, bahkan telah menyatakan kebutuhan hidrogen hijau dan akan menyerap produksi dari Indonesia.
“Nantinya pengembangan harus terus dilakukan seperti membangun storage-nya. Kebutuhan atas hidrogen hijau akan terus berkembang,” ujar Yudo.
Untuk mengembangkan rantai pasok green hydrogen di Indonesia, PLN juga tengah mengembangkan infrastruktur hydrogen refueling station (HRS) yang nantinya akan digunakan untuk pengisian daya FCEV (Fuel Cell Electric Vehicle).
Saat ini sedang disiapkan HRS sebagai pilot project di daerah Senayan, Jakarta. Nantinya, ini akan menjadi hydrogen refueling station pertama di Indonesia.
Diharapkan, dengan adanya HRS itu juga akan meningkatkan minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan ramah lingkungan yaitu mobil hidrogen.
Sementara itu, Periset Ahli Utama, BRIN, Eniya Listiani Dewi mengatakan, ekosistem pengembangan green hydrogen di tanah air memang harus segera dibentuk.
Eniya menilai potensinya sangat besar karena juga berpeluang masuk pada rantai pasok hidrogen dunia.
“PLN sudah punya banyak lokasi (GHP) dan kemitraannya juga sudah terbangun. Kita bisa membuat (hydrogen refueling station) dari Jakarta sampai ke arah Patimban, karena di sana ada greenport dan potensi ini bisa menghadirkan hydrogen highway,” ungkapnya.
Eniya juga secara khusus mengapresiasi langkah PLN yang akan membangun HRS pertama untuk kebutuhan transportasi.
Upaya strategis ini memiliki potensi besar untuk menarik masyarakat semakin terlibat dalam peralihan ke energi ramah lingkungan.
“Nah, ke depan hidrogen untuk transportasi ini kalau di tahun 2060 permintaannya itu tertinggi, bukan hanya di industri. Transportasi itu 10 kali lebih banyak demand-nya,” kata Eniya.
Meningkatkan Produksi Green Hydrogen
Saat ini terdapat 21 unit pembangkit milik PT PLN (Persero) yang memiliki hydrogen plant yaitu 12 unit dari PLN Indonesia Power, 8 unit PLN Nusantara Power dan 1 unit UIKJTB.
Darmawan Prasodjo menjelaskan pihaknya akan terus melakukan inovasi untuk meningkatkan skala produksi hidrogen hijau.
Pihaknya siap berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengembangkan teknologi ini, agar dapat mendorong hidrogen hijau ini berkembang di Indonesia.
Ke depan, PLN terus mengembangkan GHP di 15 pembangkit lain milik PLN. Dari total tersebut diperkirakan memiliki potensi kapasitas hidrogen mencapai 222 ton per tahun.
PLN bertekad menjadi menjadi pionir dalam pembentukan ekosistem green hydrogen. PLN ingin menjadi key player dalam penyediaan hidrogen hijau untuk berbagai kebutuhan, khususnya untuk kendaraan berbahan bakar hidrogen.
"Kita bangun kolaborasi dengan BRIN untuk membangun Hydrogen Refueling Station (HRS) di ratusan titik di Indonesia. Sehingga 'pom green hydrogen' jumlahnya akan menyaingi pom bensin."
"Kita akan gantikan seluruh genset berbasis BBM yang ada di mal-mal, perkantoran, bandara, dll. Kita gantikan dengan fuel cell generator berbasis green hydrogen. Yang jauh lebih ramah lingkungan," jelas Darmawan. (*)