- selama ini pemerintah fokus mendukung sektor hulu dan hilir, tapi lupa memberikan perhatian perlindungan pada dealer.
Penjualan Mobil Stagnan Akibat Pengusaha Dealer Sulit Dapat Merek Baru, Ini Kata Gaikindo
Penjualan Mobil Stagnan Akibat Pengusaha Dealer Sulit Dapat Merek Baru, Ini Kata Gaikindo
23/09/2024 18:29:19

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hampir satu dekade penjualan otomotif khususnya roda empat Indonesia berada di angka 1 juta unit. Dari data Gaikindo, pasar di tahun ini pun banyak mengalami hambatan.
Tercatat, penjualan wholesale mobil sejak Januari-Agustus 2024 turun 17,1 persen year on year (YoY) menjadi 560.619 unit, dari 675.859 unit pada periode yang sama 2023.
Pada waktu yang sama, penjualan retail mobil dalam negeri juga turun 12,1 persen YoY menjadi 584.857 unit, dari sebesar 665.262 unit pada rentang yang sama 2023.
Di tengah pasar yang sulit, pemerintah juga memiliki target untuk menggenjot penjualan tahunan di angka 2 juta pada 2030.
Target di atas rasanya harus diundur, apalagi kondisi pasar dalam negeri maupun dunia yang masih lesu. Situasi kenaikan penjualan mobil juga dirasa kian melambat dengan belum adanya regulasi pendukung di rantai pasok tengah.
Pengamat dan Dosen Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan Dian Parluhutan, menilai selama ini pemerintah fokus mendukung sektor hulu dan hilir, tapi lupa memberikan perhatian perlindungan pada dealer. Hal ini terlihat dari adanya perjanjian yang memuat klausul ekslusivitas.
Klausul eksklusivitas dalam suatu perjanjian vertikal melarang investor untuk mendirikan usaha sejenis yang menjual merek berbeda.
"Kondisi itu tentu berbeda dengan praktik dahulu yang mendorong persaingan usaha sehat dan memperbolehkan pelaku usaha di bawahnya, dalam hal ini dealer, untuk bekerja sama dengan berbagai merek," terang Dian, Senin (23/9/2024) dalam keterangan.
Dian menjelaskan, sifat pasar otomotif di Indonesia adalah oligopoli, yang artinya hanya ada beberapa pemain yang menguasai pasar sektor otomotif.
Ia mencontohkan pengusaha asal Jepang, Korea Selatan, atau Eropa membuat penentuan pasokan barang, penetapan harga dan pelayanan jual akan ditentukan secara serempak oleh para pengusaha tersebut.
Pasar oligopoli di Indonesia, membuat pelaku usaha lain sulit mendapatkan kesempatan untuk eksis atau bisa mendapatkan pasar untuk merek baru di Indonesia.
Fenomena tersebut terjadi karena adanya perjanjian-perjanjian eklusif (exclusive agreement) yang dilarang oleh Pasal 15 UU Nomor 5/1999 dan penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang oleh Pasal 25, serta kegiatan penguasaan pasar yang dilarang oleh Pasal 19 UU 5/1999.
"Pasal oligopoli tercipta karena perjanjian eksklusivitas yang dipaksakan oleh pemegang merek, sehingga menutup kesempatan investor untuk mendirikan usaha lain yang menjual merek berbeda," tutur Dian.
Dia menjelaskan, dalam Hukum Persaingan Usaha di Jerman dan Uni Eropa (EU), perjanjian pembatasan macam ini, dikategorikan sebagai perjanjian yang secara mutlak dilarang (hardcore agreement).
Bahkan di lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Uni Eropa, perjanjian ini tidak diperkenankan dan dianggap tidak layak.
Lebih lanjut Dian menyatakan jika ada pasal dalam perjanjian kerjasama yang menyebutkan adanya klausul eksklusivitas, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.
"Kalau sampai KPPU menemukan bukti perjanjian eksklusivitas, maka perjanjian itu katakan batal demi hukum. Jadi perjanjian dianggap tidak ada sama sekali," imbuhnya.
Dian menegaskan bahwa perjanjian eksklusif merupakan perjanjian ilegal dan dengan mudah dinyatakan batal demi hukum menurut Pasal 1335 juncto Pasal 1320 KUH Perdata.
"Artinya kalau menurut Pasal 1335 KHUPerdata dinyatakan seolah-olah tidak ada karena dia melanggar klausa atau melanggar undang-undang antimonopoli," katanya.
Ahli Hukum Persaingan Usaha ini meminta KPPU harus secara lebih aktif melaksanakan investigasi sektoral, seperti sektor otomotif.
Hal ini sebagai upaya untuk pencegahan adanya potensi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Data dari investigasi itu akan menjadi bukti-bukti yang disampaikan oleh pelapor.
"Dealer atau pengusaha bisa melaporkan kepada KPPU jika merasa perjanjian kerjasamanya ada unsur eksklusivitas dan KPPU harus menindaklanjuti itu," ucap Dian.
Apabila dealer melapor ke KPPU sehingga izin kerjasamanya dicabut oleh pemilik merek, maka itu pun melanggar hukum.
Undang-undang 5/1999 Pasal 15 dan Pasal 19 Huruf a melarang pelaku usaha melakukan perjanjian vertikal yang sifatnya menutup kebebasan dalam mengambil keputusan bisnis secara wajar kepada pelaku usaha di bawahnya.
"Dengan kata lain tidak boleh membatasi ruang gerak dari pelaku usaha di bawahnya untuk mendirikan usaha lain yang menjual produk yang berbeda," ujar Dian.
Dian menyarankan bagi dealer yang merasa dirugikan oleh adanya perjanjian eksklusivitas tidak perlu takut dengan itu.
"Hal ini karena syarat sah berlakunya perjanjian adalah tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan. Dalam hal ini adalah UU 5/1999 sebagai undang-undang pedoman utama atau umbrella act dari persaingan usaha yang sehat, terutama di sektor otomotif nasional," jelasnya.
Gaikindo Bantah Stagnansi Penjualan Akibat Perjanjian Eksklusif
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara, membantah pernyataan Ahli Hukum Persaingan Usaha Dian Parluhutan menyoal perjanjian eksklusif jadi penghambat penjualan mobil nasional.
"Enggak lah, masalahnya mobil itu bukan seperti produk-produk yang lain. Kalau jual mobil itu ada produk bagian teknologinya dan sebagainya. Artinya nggak jual putus. Dalam teknologi itu ada confidential item yang nggak bisa di-share. Jadi, nggak mungkin penjualan di dealer itu dibagi ya," tutur Kukuh saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (23/9/2024).
Kukuh memberikan contoh satu kasus dealer yang menjual segala merek mobil di satu lokasi, ujungnya outlet tersebut harus tutup akibat pelayanan yang tidak fokus.
"Memang pernah ada satu perusahaan jual berbagai macam produk, tapi justru malah nggak terlalu sukses. Jadi justru bagus fokus satu brand. Karena yang mau dijual dalam satu brand variannya macam-macam," jelas Sekum Gaikindo tersebut.
Kukuh membantah, stagnansi penjualan 1 juta unit akibat perjanjian eksklusif dealer dengan brand. Penjualan yang tidak bergerak dari angka 1 juta unit lebih diakibatkan oleh data beli dan harga mobil.
Gaikindo telah melakukan kajian, dimana harga mobil naik sekitar 7 persen setiap tahunnya. Sedangkan daya beli kelompok menengah hanya naik 3 persen per-tahun.
"Kita lakukan kajian, itu harga mobil itu naiknya sekitar 7 persen setahun. Itu karena berbagai hal, karena nilai tukar, rate bank dan sebagainya, pinjaman dan sebagainya. Faktor-faktor eksternal, misalnya logistik, kemudian ada dampak dari geopolitik dan sebagainya, sehingga harganya naik 7 persen. Tapi daya beli masyarakat kita, umumnya adalah kelompok masyarakat kelas menengah, itu naiknya di bawah 3 persen, di bawah inflasi," terangnya.
Faktor-faktor inilah yang menjadi pemicu utama pasar mobil baru di Indonesia hanya berada di angka 1 juta unit. Artinya perjanjian eksklusif dealer tidak ada pengaruhnya terhadap penjualan mobil.