- Bagaimanakah rasanya hidup menjadi manusia, tapi tak pernah merasa dinilai pantas menjadi manusia? Sebab, identitas pantas untuk menjadi manusia itu tidak pernah diberikan oleh manusia lain? Apalagi yang terlahir sebagai rakyat kelas bawah yang tak pernah diterima di manapun mereka berada. Kiranya, itulah yang dirasakan oleh sekelompok anak punk dalam cerita di film berjudul Bomb …
Bomb City, Tentang Diskriminasi dan Stereotip Terhadap Kelompok Punk
Bomb City, Tentang Diskriminasi dan Stereotip Terhadap Kelompok Punk
31/12/2020 09:02:15

Bagaimanakah rasanya hidup menjadi manusia, tapi tak pernah merasa dinilai pantas menjadi manusia? Sebab, identitas pantas untuk menjadi manusia itu tidak pernah diberikan oleh manusia lain? Apalagi yang terlahir sebagai rakyat kelas bawah yang tak pernah diterima di manapun mereka berada. Kiranya, itulah yang dirasakan oleh sekelompok anak punk dalam cerita di film berjudul Bomb City.
Film Bomb City dirilis pada tanggal 31 Maret tahun 2017. Film ini berdurasi sembilan puluh sembilan menit. Menariknya, film yang bergenre crime–drama ini adalah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Film yang disutradarai oleh Jameson Brooks ini berkisah tentang perlakuan ketidakadilan, stereotip, dan penuh dengan diskriminasi yang berakhir dengan terbunuhnya Brian Deneke (Dave Davis), salah satu anggota suatu kelompok punk di Texas, Amerika.
Ketidakadilan ini bermula suatu ketika Cody Cate (Luke Shelton) – nama samaran, di mana aslinya ia bernama Dustin Camp – anak muda kelas menengah, seorang anggota kelompok futbol bernama “The Preps,” sekaligus musuh dari anak punk, yang dinyatakan tak bersalah atas pembunuhan Brian Deneke.
Di dalam film, awal mula perseteruan antara dua kelompok ini, punk dengan The Preps, diawali dengan saling ejek dan tidak menghormati satu sama lain. Kemudian, perseteruan memanas hingga melibatkan kontak fisik, dan tragedi kematian Brian Deneke menjadi puncaknya.
Pada suatu malam di Western Plaza Center, salah satu tempat nongkrong terkenal di Texas, para anggota The Preps sedang berkumpul. Sebelumnya, mereka telah berhasil menghancurkan jendela base camp tempat para anak punk berkumpul. Di saat kejadian itu terjadi, hanya ada Jhon King (Henry Knotts), salah satu anak punk, yang sedang berada di base camp. Teman-temannya sesama punk lainnya sedang berada di luar. Tidak terima akan perbuatan yang dilakukan para anggota The Preps, King memberanikan diri untuk melawan dan mendatangi sendiri kelompok The Preps yang sedang berkumpul, untuk membalas dendam.
Dan hasilnya, King dikeroyok habis-habisan oleh anak-anak The Preps. Bahkan, mobil yang dikendarai oleh King juga ditabrak dan hancur seketika. Dengan kondisi babak belur dan kepala penuh darah, King kembali ke base camp dengan berjalan kaki. Sesampainya di base camp, terlihat bahwa teman-teman King (termasuk Brian) sudah kembali. Melihat King yang babak-belur seperti itu, Brian menanyakan kepada King apa yang telah terjadi padanya.
Setelah melewati adu mulut yang cukup rumit, Brian, King, dan seluruh anggota punk yang lain sepakat untuk membalas dendam dan akan membuat “pernyataan” kepada kelompok The Preps. Dan kemudian, berangkatlah mereka menuju Western Plaza Center.
Perkelahian telah terjadi, kalah jumlah sangat terlihat. Dan di tengah-tengah perkelahian itu, muncullah seorang Cody Cate. Ia berada di dalam mobil Cadillac ayahnya bersama dua temannya. Melihat perkelahian itu, Cody, dengan kesadaran penuh, sengaja menabrak dan melindas Brian Deneke hingga meninggal. Miris sekali, tapi memang peristiwa seperti itulah yang terjadi.
Tak hanya meninggal, Brian Deneke pun masih dihabisi di persidangan. Brian Deneke masih disalahkan atas gaya hidup serta pakaiannya, seolah-seolah Brian serta teman-teman punk-nya pantas untuk mati karena terlihat berbeda. Dan, lagi-lagi stereotipe negatif seakan tidak bisa lepas dari film besutan Jameson Brooks itu.
Jika berbicara tentang gaya hidup seorang punk, macam-macam stereotip negatif sering dicapkan kepada mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Widya G. dalam buku yang berjudul “PUNK: Ideologi yang Disalahpahami” (2017), punk adalah perilaku yang lahir dari sifat melawan, tidak puas hati, marah, dan benci pada sesuatu yang tidak pada tempatnya (sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan agama), terutama terhadap tindakan yang menindas. Sederhananya, punk menyampaikan kritikan. Mereka hidup bebas, tetapi tetap bertanggung jawab pada setiap pemikiran dan tindakannya.
Rambut mohawk, sepatu bot, celana jins ketat, dan jaket penuh patch emblem dan bordir adalah ciri khas yang tak bisa lepas dari anak punk. Menurut Muhammad Fakhran al Ramadhan, dalam jurnal berjudul “Punk Not Dead: Kajian Bentukan Budaya Punk di Indonesia” yang dimuat dalam Jurnal Makna No. 1 Vol. 1 tahun 2016, menyebutkan bahwa punk mengonstruksi fesyen baru yang merepresentasikan perlawanan terhadap kelas (menengah) atas. Seperti menggunakan atribut-atribut yang bertentangan dengan atribut-atribut kelas atas.
Contohnya penggunaan sepatu bot, yang merepresentasikan kelas bawah dan kaum pekerja. Penggunaan celana jins ketat dan robek, sebagai bentuk pemberontakan terhadap gaya glamor kaum borjuis. Serta, potongan rambut spike dan mohawk yang meniru gaya rambut suku Indian kuno Mohican, sebagai representasi perlawanan terhadap kekuasaan dominan. Masing-masing sikap dalam berpakaian ini dimaknai oleh anak punk sebagai bahasa perlawanan mereka untuk melawan para kelas atas.
Selain diskriminasi dan stereotip terhadap gaya hidup serta pakaian yang ditujukan pada seorang Brian Deneke, film Bomb City juga menunjukan bahwa perbedaan antarkelas itu memang nyata. Kekuatan kelas atas, Cody Cate, sangat sulit untuk dilawan. Film Bomb City merupakan salah satu contoh nyata sekaligus gambaran utuh di mana otoritas lebih bisa dikendalikan oleh kelompok kelas atas, dan menganggap bahwa kelas bawah tidak pantas untuk punya kendali hukum dalam berkehidupan.
Bagi saya, film Bomb City adalah tontonan yang sangat menarik sekaligus membuat kita tersadar, bahwa perlakuan diskriminatif dan kejahatan kemanusiaan masih sering terjadi di belahan dunia mana pun.
Ata Fudholi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan