- Mengenali gejalagejala alam menjadi cara yang ampuh menghadapi bencana tsunami di Tanah Air khususnya Pantai Selatan Laut Jawa
27/07/2019 16:02:57

SEMARANG - Mengenali gejala-gejala alam menjadi cara yang ampuh menghadapi bencana tsunami di Tanah Air khususnya Pantai Selatan Laut Jawa. Apalagi, sejumlah alat peringatan dini atau early warning system (EWS) yang dipasang sebagian telah hilang dan tak berfungsi.
“Alat yang dulu pernah kita pasang di Pantai Selatan, sekarang memang tidak efektif lagi karena ada yang hilang segala macam,” kata geologist Universitas Diponegoro (Undip), Dr.rer.nat. Thomas Triadi Putranto, ST, M.Eng, Jumat (26/7/2019).
“Yang bisa bisa dilakukan masyarakat itu biasanya karena sudah mengalami itu (bencana tsunami) adalah melihat ada tanda-tanda alam. Misalkan kalau terjadi surut secara tiba-tiba mereka sudah tahu ini ada tanda-tanda. Nanti terjadi tsunami karena sebelumnya ada gempa, mereka sudah paham, dan pembelajaran itu mereka sudah paham, apalagi dengan wilayah yang sering terjadi gempa di Pantai Selatan dia tahu,” tambah dia.
Dia menyampaikan, kesadaran masyarakat menghadapi bencana sekarang lebih meningkat. Apalagi, mereka juga mendapatkan informasi dari beragam media termasuk televisi maupun akses internet.
“Belajar dari pengalaman waktu ada gempa besar di Aceh, atau televisi dan sebagainya. Bagaimana gempa Aceh terjadi dan bagaimana korban bisa banyak, karena mereka tidak melihat tanda-tanda alam. Air laut tiba-tiba surut setelah gempa,” tandasnya.
“Sekarang dengan adanya pembelajaran seperti itu, mereka sekarang sudah paham, sudah ngerti, kalau terjadi gempa dan mereka melihat dan surut air yang tiba-tiba di laut, mereka harus segera evakuasi. Mereka sudah belajar dari pengalaman, jadi masyarakat sudah mengerti,” imbuh dia.
Menurutnya, pemerintah juga sudah cukup memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat tentang mitigasi bencana. Apalagi, saat ini pemerintah juga tengah menyusun Rencana Undang-Undang (RUU) tentang Kebencanaan.
“Kita kan punya instansi teknis dalam hal ini adalah BPBD, Basarnas. Kita punya universitas yang bisa bersama-sama memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya-bahaya terkait dengan kondisi geologi. Kalau di wilayah semua itu memang terjadi gempa karena berada di jalur tumbukan, maka kita harus siap untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, tidak pernah lelah untuk melakukan edukasi kepada masyarakat,” katanya memastikan.
“Dengan melihat ada bencana geologi besar yang terjadi, pemerintah mau tidak mau sekarang ini sudah aware harus sudah bersikap, dan mereka mempersiapkan RUU tentang Kebencanaan. Jadi terkait bencana, mereka akan membuat peraturan-peraturan sehingga dalam hal bagaimana kalau terjadi bencana mereka sudah siap. Mereka menyadari bahwa bencana ini tidak karena ulah manusia, tapi memang karena faktor kondisi geologi. Di Indonesia seperti itu,” bebernya.
Pemerintah juga dinilai tak menempatkan menjadikan kawasan rawan bencana geologi sebagai permukiman. Proses tata ruang memang semestinya melibatkan pakar-pakar geologi agar tak terjadi daerah rawan bencana justru digunakan untuk aktivitas penduduk.
“Dalam hal ini membuat satu zona di mana zona itu tidak meletakkan bahaya-bahaya geologi di dalam penataan ruang, sehingga tidak membuat daerah yang rawan terhadap bencana tsunami ditempatkan untuk pemukiman atau budidaya. Itu yang harus diperhatikan, karena penataan ruang juga mengakomodasi terkait dengan bencana geologi. Itu wajib sekarang,” tegas dia.