LOGO

News

Sungai Bahau Keindahan yang Mendebarkan

12/08/2019 23:37:39
Sungai Bahau di pedalaman Kalimantan Utara memiliki jeram yang menantang. Sementara hutan perawan mengapitnya hingga bermuara ke Sungai Kayan.
  • Sungai Bahau di pedalaman Kalimantan Utara memiliki jeram yang menantang. Sementara hutan perawan mengapitnya hingga bermuara ke Sungai Kayan.

TEMPO.CO, Tanjung Selor - Sungai Bahau di Berau, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara itu hanya selebar 20 meter, yang dipayungi pohon-pohon besar hutan Kayan Mentarang. Air mengalir tenang, hampir tanpa riak. Ketika motor tempel perahu dimatikan, kami bahkan bisa mendengar dedaunan bergesek—bagai bisik peri di rimba dongeng.

Kunjungan ke Berau ini bagian dari penelusuran Tim Tempo untuk menelusuri 100 Surga Tersembunyi. Susur sungai ini terdiri dari penulis Qaris Tadjuddin, fotografer Aditia Noviansyah, dan adventure specialist Dody Johanjaya—di sepanjang Sungai Bahau. Dua hari sebelum ke Berau, kami sampai di Apau Ping, desa terakhir di Hulu Bahau, setelah mengarungi Sungai Kayan dan Bahau sepanjang 350 kilometer selama empat hari.

Bahau terpilih karena sungai ini masih terjaga baik. Mengalir dari hutan yang berbatasan dengan Malaysia. Bahau bermuara di Sungai Kayan, yang jauh lebih lebar. Sementara Bahau hanya selebar 50 meter, Sungai Kayan bisa mencapai 200 meter. Tidak seperti kebanyakan sungai di Kalimantan, di Bahau tak ada balok kayu yang dihanyutkan.

Perusahaan penebangan kayu memang belum sampai di sana. Juga tak ada perkebunan sawit atau tambang batu bara. Di kanan-kiri sungai, hutan membentang hingga hulu. Sesekali, di antara pohon-pohon yang rapat itu muncul muara anak sungai seperti Berau ini.

Kami ke Berau ditemani empat penduduk Apau Ping: Ding Njuk, Dan Salo, Rodes Jan, dan Titus Lawing. Tiga di antara mereka orang Dayak Kenyah, anak suku terbesar di Kalimantan Utara. Hanya Titus yang berasal dari Dayak Punan. Dua ketinting—perahu sepanjang tiga meter dan selebar badan orang— membawa kami dari Apau Ping ke arah hulu, lalu berbelok ke Berau di sebelah kanan. Semakin dalam, pepohonan semakin rapat dan suasana semakin tenang. Tak ada perahu lewat kecuali dua ketinting kami.

Setelah merapatkan perahu ke akar pohon yang menjuntai ke sungai, Ding bersiap terjun. Tubuh bulat tak membuatnya kesulitan berenang. Semua penduduk desa di tepi Bahau jago berenang. Sejak umur empat tahun mereka sudah terjun ke sungai, menginjak sekolah dasar mereka membawa sendiri ketinting untuk mencari ikan.

Bersenjatakan panah ikan buatan sendiri, Ding menyelam. Satu menit, dua menit, dan hap! Pada menit ketiga, ia mengacungkan anak panah yang menembus perut ikan pelian sebesar paha. Ia beristirahat sebentar, lalu masuk lagi ke dalam air, berenang di antara akar-akar pohon, dan... Ding kembali muncul dengan ikan yang menggelepar.

Arus deras Sungai Bahau bila hujan berarus deras dan di musim kemarau sulit dilalui. Foto: Gunawan

Saya berenang agak jauh, ke arah bebatuan yang menonjol karena air dangkal, untuk menikmati kesendirian barang sesaat. Satu jeram kecil ada di sana, airnya yang berlompatan mengkilat disorot matahari siang yang terang.

Satu jam kemudian kami selesai menikmati Berau dan kembali ke Bahau. Karena waktu makan siang sudah tiba, ketinting menepi di bebatuan. Ding membersihkan ikan berwarna kelabu dengan sisik sebesar koin seribuan rupiah, Dan memotong bambu untuk mengukus perut ikan, Rodes menebas batang-batang basah untuk tusukan barbeque, dan Titus mengumpulkan kayu kering lalu membuat api. Lima belas menit kemudian, ikan-ikan itu sudah berada di atas api. Setengah jam sesudahnya, mereka berpindah ke perut kami.

Lima hari sebelumnya, kami memulai perjalanan dari Tanjung Selor di muara Sungai Kayan. Setelah mengarungi sungai selama empat hari, kami tiba di Apau Ping. Meski panjang, perjalanan ini tak membosankan. Dari atas perahu, kami kerap melihat elang terbang dua-dua, berputar-putar dari atas pohon kayu ulet di sisi kanan sungai ke pucuk-pucuk pohon ketepai di kiri sungai. Bangau putih nongkrong beramai-ramai di satu pohon. 

Panorama hutan yang rapat memang sudah kami nikmati dalam perjalanan ke hulu, tapi pengalaman mendebarkan justru terjadi ketika kami pulang dari Apau Ping. Awalnya, karena hanya membalik rute, saya menyangka perjalanan ini hanya pengulangan. Namun sudut pandang berbeda membuat pemandangan tak lagi sama. Tebing-tebing batu terlihat lebih menonjol saat kita berangkat dari hulu.

Perbedaan mencolok terasa sewaktu kami melewati sekitar 20 jeram sepanjang Bahau. Meski tak lagi harus melawan arus, meloloskan diri dari jeram ternyata tetap tak mudah. Ini sama sekali berbeda dengan keasyikan berarung jeram dengan perahu karet yang lentur. Perahu yang kami tumpangi kali ini terbuat dari kayu, bisa pecah jika menabrak batu. Lambungnya juga tak rata seperti perahu karet, tapi berbentuk piramida terbalik. Penumpang bersin pun bisa membuat perahu ini bergoyang.

Karena itu, membiarkan perahu hanyut oleh arus air tidak dipilih oleh Jalung Aran—salah satu motoris yang mengantar kami dari Apau Ping ke Long Pujungan. "Kalau pelan, saya justru tidak bisa membelokkan perahu," katanya.

Satu-satunya kendali memang pada sirip di belakang baling-baling motor. Sirip itu tak akan berfungsi jika baling-baling tidak berputar. Dengan baling-baling yang berputar cepat, ia bisa zigzag di antara bebatuan yang menonjol. Tapi, akibatnya, perahu ngebut dan itu cukup mendebarkan.

Tak jarang lambung perahu bergesekan dengan batu. Bahkan, di Kiram Telaso, Jalung hampir menabrakkan haluan pada batu sebesar gajah. Ia membelokkan perahu hanya beberapa sentimeter dari tebing itu. Dengan keahliannya itu, kami selamat sampai di Long Pujungan. Baru setengah perjalanan terlampaui. 

Yakub Jalung, pegawai negeri di Long Pujungan berusia 37 tahun, memberi kami tumpangan dari Pujungan ke Tanjung Selor—kota di ujung Sungai Kayan yang berseberangan dengan Tarakan. Ia akan membeli semen di Selor untuk proyek pembuatan pagar SMP negeri di Pujungan. Penumpang dadakan tentu akan meringankan biaya membeli bensin perahunya: Rp 12 juta untuk sekali jalan.

Selain kami bertiga, ada empat penumpang lain yang ikut perahu Yakub. Dua lelaki, dua perempuan. Seperti Yakub, dua penumpang pria membawa senapan.

Perahu sepanjang 21 meter dengan tiga mesin yang masing-masing berkekuatan 40 tenaga kuda itu mulai bergerak setelah zuhur. Sebetulnya terlalu siang untuk perjalanan 8 jam ke Tanjung Selor. Kami pasti menginap di jalan. Itulah sebabnya Yakub tampak santai. Dengan memakai caping, dia berdiri di haluan sambil menggenggam tongkat kayu 3 meter. Dia lebih mirip Nabi Nuh di bahteranya. 

Di buritan ada tiga motoris. Karena tak memakai setir tunggal, ketiganya harus kompak seperti penari kabaret. Satu menjulurkan tangan ke kanan, yang lain harus ke kanan. Satu menarik lengan ke kiri, yang tiga harus juga ke kiri. Mereka biasanya sudah tahu kapan harus berbelok. Tapi, di musim kemarau seperti sekarang ini, peran juru batu di haluan sangat dibutuhkan. Ada batu-batu yang tak kelihatan ketika air tinggi, tapi kini menonjol dan bisa membalikkan perahu yang melaju kencang.

Dua kali Yakub meminta motoris menghentikan perahu agar dia bisa menjaring ikan. Dua ikan sebesar paha dia tangkap, tapi Yakub selalu mengatakan, "Ini ikan kecil." Dua ikan itu memang terlalu sedikit untuk memberi makan tujuh penumpang dan lima awak kapal pada malam nanti. Tapi kekhawatiran kami hanya sebentar.

Tak jauh dari tempat Yakub menjala, saat perahu melaju kencang, tiba-tiba kami dikejutkan oleh letusan. Dor! dor! dor! Tiga senapan menyalak dan seekor babi sekarat di pinggir sungai. Perahu berputar untuk menjemput hewan buruan. Yakub menusukkan tombak untuk mengakhiri penderitaan babi berjanggut itu. 

Saat perahu melaju, saya hanya memperhatikan keindahan hutan, tapi ketiga orang dengan senapan ini bisa melihat makan malam yang melintas. Tadi, sebelum senapan ditembakkan, ada sekelompok babi yang bersiap menyeberang. Babi memang bisa berenang.

Mereka pindah dari satu sisi hutan ke sisi yang lain untuk mencari makan. Migrasi biasanya terjadi pada Juli. Orang sana mengistilahkannya dengan musim babi berenang. Tapi, pada bulan lain, fenomena ini juga bisa terjadi. Belum satu jam, senapan kembali meletus, dan seekor lagi babi mampus.

Malam datang sekonyong-konyong karena mendung menyembunyikan senja di langit barat. Tanpa sadar, kabut sudah merambati pucuk-pucuk pohon, dan udara menjadi dingin. Yakub merentangkan tangan kanannya. Itu adalah isyarat kepada tiga motoris untuk menepikan perahu. Yakub memutar tubuhnya hingga menghadap kami. "Kita bermalam di sini," katanya—lebih terdengar sebagai perintah.

Tiga mesin berhenti menderu. Perahu panjang itu menepi oleh sisa-sisa dorongan mesin. Buih dan riak menyelinap di bawah lambungnya, sebelum perahu itu mendarat di pasir yang empuk. Untuk sementara, perjalanan kami berhenti di sini. Terlalu berbahaya untuk diteruskan.

Malam menyembunyikan batu dan batang kayu. Jeram-jeram ganas pasti juga tak terlihat. Tak mungkin juga bermalam di rumah penduduk. Kampung terdekat jaraknya dua jam perjalanan. Di sekeliling kami hanya ada hutan yang amat rapat oleh pohon-pohon besar.

Untuk beberapa saat, kami dikepung ketenangan yang magis. Ini seperti mendengar concerto piano Moonlight Sonata: tenang, tapi ada keagungan di belakangnya. Di balik kegelapan yang semakin pekat, hutan di sekitar kami tidak benar-benar tidur. Sungai masih mengalir dan kami mendengar kericiknya. Sebagian hewan masih terjaga. Kami masih bisa mendengar suara beberapa di antara mereka di kejauhan.

Tak ada bintang, hanya petir yang sesekali menggelepar di hulu. Kami berdoa semoga di sana mendung jadi hujan sehingga air naik dan perjalanan jadi lebih mudah. Tapi, kami juga tahu, tak semua doa terjawab.

Berita selanjutnya