- Ssetelah kemerdekaan Terowongan Niyama ini tidak dirawat dengan baik sehingga terjadi pendangkalan Pada tahun 1955 Tulungagung kembali dilanda banjir besar
Kemegahan Terowongan Niyama Karya Penjajah Jepang yang Terabaikan
Kemegahan Terowongan Niyama Karya Penjajah Jepang yang Terabaikan

TULUNGAGUNG – Pasca-diwarnai kisah tragis dibalik pembuatan Terowongan Niyama, bangunan peninggalan Jepang ini tak lagi dirawat maksimal. Terlebih saat Jepang meninggalkan Indonesia usai proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945.
Sejarawan Tulungagung Latif Kusairi menyebut, pasca dibuka pada Juli 1944 wilayah di Campurdarat seluas 16.000 area tanah diperuntukkan masyarakat menjadi sawah yang subur.
“Sayang setelah kemerdekaan Terowongan Niyama ini tidak dirawat dengan baik sehingga terjadi pendangkalan. Hasilnya pada tahun 1955 Tulungagung kembali dilanda banjir besar, jadi tahun 1955 itu di Tulungagung banyak yang tidak melakukan pemilu,” ucap Latif, kepada Okezone.com.
Peristiwa banjir yang terus menerus melanda ini, kembali terjadi hampir setiap tahunnya disebut Latif, perbaikan terowongan yang dilakukan pada masa – masa orde lama tak mampu membuat banjir hilang. Pendangkalan terowongan sepanjang 1.000 meter yang parah tetap tak mampu menampung debit air.
“Proyek perbaikan terowongan pun akhirnya dimulai sejak tahun 1979 – 1986, saat itu proyek besar, tapi sayangnya daripada memperbaiki yang terowongan aslinya, akhirnya membuat terowongan yang debitnya lebih besar,” bebernya.
Latif menambahkan usai Terowongan Niyama ‘baru’ ini selesai dibangun, pemerintah orde baru mencoba mengubah nama ‘Niyama’ menjadi Terowongan Sukamakmur. Hal ini terjadi karena pemerintah Orba menganggap nama ‘Niyama’ identik dengan Jepang.
“Pada tahun 1980-an itu pemerintah kan membangun terowongan lagi tak jauh dari Terowongan Niyama yang asli. Sementara Terowongan Niyama yang asli itu tidak terawat dan digunakan hingga sekarang. Tapi nama daerah itu masih dinamakan Niyama, meski ada upaya menggantinya menjadi Sukamakmur,” terang pria kelahiran Tulungagung ini.
Sayang pembangunan terowongan yang dinamakan Terowongan Tulungagung Selatan ini menjadi akhir dari riwayat pemanfaatan Terowongan Niyama yang dibuat Jepang. Lambat laun pun terowongan ‘asli’ ini pun kian tertutup pendangkalan dan akhirnya ditutup.
“Terowongan Niyama-nya yang asli tidak rusak, masih utuh, hanya memang ditutup dan tidak lagi diurus,” ucap pengajar Dosen Sejarah IAIN Surakarta ini.
Sementara tiga terowongan baru yang dibuat pemerintah orde baru kali ini dijadikan salah satu titik pengairan utama di Tulungagung. Selain itu terowongan ini juga digunakan sebagai sarana Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Niyama. Dari sanalah terowongan yang awalnya sempat dibuka untuk berwisata kini tak boleh lagi diakses masuk.
Hal ini yang disebut Latif menjadi titik lemah dari pemerintah daerah Tulungagung, dimana bangunan – bangunan yang bersejarah kurang begitu diperhatikan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penyematan identitas plakat – plakat kepada bangunan cagar budaya dan bersejarah yang ada di Kabupaten Tulungagung.
“Harusnya pemerintah lokal bisa menguri – nguri sejarah. Keberadaannya seharusnya penting bagi Pemda tulungagung dan harus bisa dilestarikan. Tapi sejauh ini bangunan – bangunan cagar budaya tidak ada plakat yang mengindetikkan bangunan cagar budaya. Itu di kota saja belum, apalagi kalau di luar kotanya,” tutupnya.
(amr.-)